Sunday, February 14, 2016

Biografi Lengkap Mohammad natsir

Biografi lengkap Mohammad Natsir
Biografi Lengkap Mohammad natsir

Salam alaikum  Para Pejalan. Alhmadulillah pada kesempatan yang baik ini saya berkesempatan untuk membagikan sebuah tulisan baru di blog Para Pejalan ini, Biografi Lengkap Mohmmad natsir. Awal mula hati saya tergerak untuk menulis Biografi Mohammad natsir di blog para pejalan ini adalah setelah saya membaca salah satu buku beliau "Islam dan Akal Merdeka".

Terus terang saya adalah salah satu generasi yang terlahir dimana dunia sedang memuji dan mengagung-agungkan segala sesuatau yang berbau ke-Barat-Baratan. Teknologi, Tokoh, Peradaban bahkan sampai hal remeh temah, lantas saya mengabaikan / melupakan / barangkali tidak peduli pada tokoh-tokoh lokal nasional yang telah memiliki andil sangat besar untuk udara bebas yang bisa kita hirup saat ini, untuk agama Lurus yang kita dekap erat, Untuk masa depan, Untuk semua aspek Kehidupan.

Mohammad natsir, lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun. Dia adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Saya ingat sebuah bab dalam Bukunya "Islam dan Akal Merdeka" yang berjudul "Tauhid
 Sebagai Dasar Pendidikan
" terdapat sebuh kisah menarik tentang seorang Profesor Fisika ternama yang mengakhiri hidupnya dengan cara benuh diri, setelah ia Membunuh putra kesayangannya sendiri terlebih dahulu. Saya petikkan kisahnya, sebagai berikut.

Prof. Paul Ehrenfest Merupakan seorang Ahli Fisika ternama, sangat dicintai oleh teman sejawatnya, sebagai sahabat setia, dihormati, disayangi oleh pelajar-pelajar sebagai pemimpin dan bapak ilmu dari bidang yang ia dalami. Paul Ehrenfes merupakan seorang yang terpelajar, Seorang Intelek dengan arti yang penuh. Ia berasal dari family yang baik-baik. Ia telah mendapat pendidikan dan pelajaran yang teratur menurut cara didikan sebaik-baiknya yang ada di tempat kelahirannya.

Otaknya yang sangat tajam telah menuki menggali rahasia ilmu yang dapat dicapai oleh manusia dizamannya. Tak pernah terdengar ia melakukan suatu pekerjaan tercela. Pergaulannya selalu dengan orang baik-baik pula. Akhlaknya baik, penyayang dan disayangi.

Siapakah yang tidak akan heran dan terkejut atas peristiwa kematiannya itu? Tentu ada suatu rahasia yang tidak diketahui oleh orang luar...!

Dari suatu surat yang ditinggalkan untuk teman sejawatnya yang paling rapat, yakni Prof. Kohnstamm itu nyatalah, bahwa perbuatan yang menewaskan dua jiwa itu bukan suatu pekerjaan terburu nafsu, melainkan suatu perbuatan yang telah dipikir lama, berasal dari suau perjuangan ruhani yang telah mendalam, yang tak bisa diselesaikannya dengan lautan ilmu yang ada padanya itu.

Ternyata dari suratnya bahwa mahaguru ini kehilangan idealisme, kehilangan tujuan hidup. Didikan yang ditermanya  dari kecil, pergaulannya selama ini dengan orang-orang sekelilingnya, telah memberi bekas kepada jiwanya bahwa tak ada yang lain, pokok dan tujuan hidup yang sebenarnya, selain dari Watenschap (Ilmu Fisika dalam bahasa Belanda). Dikorbankannya segenap tenaganya, ditumpahkannya seluruh cita-citanya kepada Watenschap, sehingga ia menginjak tingkatan yang tinggi dalam ilmu pengetahuan itu.

Tak ada yang lebih baik dari Watenschap, tak ada yang tersembunyi dibelakang Watenschap, Watenschap di atas segalanya. Akan tetapi, lambat laun masih ada hayat ruhani yang tidak dapat terpuaskan dengan Watenschap itu. Semakin lama ia memperdalam ilmu, semakin hilang rasanya tempat berpijak. Apa yang kemarin masih benar, sekarang sudah tak betul lagi. Apa yang betul sekarang, besok sudah salah pula.

 Dalam suratnya tersebut Ia menulis "  yang tak ada pada saya ialah kepercayaan kepada tuhan. Agama adalah perlu, Tetapi barangsiapa yang tak mampu memiliki agama, ia mungkin akan binasa lantaran itu, yakni bila ia tak bisa beragama."

Ruhnya berkehendak menyembah Kepada Tuhan akan tetapi tidak diperdapatnya. Ia ingin dan Rindu hendak mempunyai agama akan tetapi tidak diperolehnya jalan! Ini menjadi azab yang tak terkira olehnya! Yang sangat menharukan hati para sahabatnya, diakhir surat ada sebuah doa ditulisnya " Mudah-mudahan tuhan akan menolong kamu, yang amat aku lukai sekarang ini"

Demikian kebatinan seseorang yang ada pada lahirnya boleh dinamakan "atheis" itu. Seseorang yang pada hakikatnya sangat rindu untuk mempunyai Tuhan.

Apapun pesan yang ingin disampaikan Mohammad natsir dalam kisah yang ditulis dalam bukunya ini menjadi pelajaran yang berharga untuk kita semua. (Kisah ini tidak saya tuliskan secara keseluruhan, silahkan di baca selengkapnya di buku beliau, Informasi buku mohammad natsir bisa kontak saya)


KELUARGA MOHAMMAD NATSIR


Pada masa kecilnya, Natsir sekeluarga hidup di rumah Sutan Rajo Ameh, seorang saudagar kopi yang terkenal di sana. Oleh pemiliknya, rumah itu dibelah menjadi kedua bagian: pemilik rumah beserta keluarga tinggal di bagian kiri dan Mohammad Idris Sutan Saripado tinggal di sebelah kanannya.

Mohmmad Natsir merupakan anak dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado serta Khadijah. Ia mempunyai 3 orang saudara kandung, yang bernama Yukinan, Rubiah, serta Yohanusun. Jabatan ayahnya yaitu pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedang kakeknya adalah seorang ulama. Ia nantinya akan menjadi pemangku kebiasaan atau adat untuk kaumnya yang berasal Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro nan Panjang


PENDIDIKAN MOHAMMAD NATSIR


Natsir mulai mengenyam pendidikan selama dua tahun di Sekolah Rakyat Maninjau, kemudian ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Padang. Selama beberapa bulan bersekolah disana ia kemudian pindah ke Solok dan dititipkan dirumah saudagar yang bernama Haji Musa. Tak hanya belajar di HIS di Solok pada siang hari, ia juga belajar pengetahuan agama Islam di Madrasah Diniyah saat malam hari. Ia kemudian pindah setelah tiga tahun ke HIS di Padang bersama-sama kakaknya. Kemudian tahun 1923, ia meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) lalu kemudian ia pubn bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij serta Jong Islamieten Bond. Sesudah lulus dari MULO, ia selanjutnya pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) sampai tamat pada tahun 1930. Di tahun 1928 hingga 1932, ia kemudian menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga jadi pengajar setelah menerima pelatihan sebagai guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang sudah memperoleh pendidikan Islam di Sumatera Barat pada mulanya juga memperdalam pengetahuan agamanya di Bandung, termasuk juga dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, serta dialektika. Kemudian di tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang nantinya akan menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam.

PERJALANAN KARIR POLITIK


Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim; selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menjadi perdana menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan. Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen.  Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Namun ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi. Natsir juga mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa. Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri Natsir, Soekarno selaku presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk menjatuhkan Kabinet Natsir, dan tidak mendukung kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.
Mohammad Natsir (1950)

Selama era demokrasi terpimpin di Indonesia, ia terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia setelah meninggalkan Pulau Jawa  PRRI yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai pemberontakan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.

Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan.

Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisi kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri. Pada masa-masa awal Orde Baru ini, ia berjasa mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka mencairkan hubungan dengan Malaysia. Selain itu pula, dialah yang mengontak pemerintah Kuwait agar menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi.Soeharto menganggap orang yang mengkritik dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut menandatangani Petisi tersebut bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti, dan lain-lain. Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang tidak bisa diikutinya. Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai, terutama partai Islam. Apalagi Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi. Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto.

KARYA-KARYA MOHAMMAD NATSIR

 Selama menjalani pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada 1929, dua artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu berjudul Qur'an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya mendirikan surat kabar Pembela Islam yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935. Ia juga banyak menulis tentang pandangannya terhadap agama di berbagai majalah Islam seperti Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Al-Manar. Menurutnya, Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia.

Natsir telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Karya terwalnya umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan antara Islam dan politik, dan peran perempuan dalam Islam. Karya-karya selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan tentang Islam, dan hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim. Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam.  Selain menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun 1930; sekolah tersebut ditutup setelah pendudukan Jepang di Indonesia.

Sekalipun Natsir memiliki latar belakang pendidikan Belanda, Natsir tidak tergerak sama sekali untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Ia juga peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Sebenarnya, langkahnya ini yang peduli terhadap dunia pendidikan disebabkan setelah dia membaca karangan Snouck Hurgronje yang melawan Islam, seperti Netherland en de Islam yang memaparkan strategi Hurgronje dalam melawan Islam. Buku ini pada akhirnya kemudian membuat Natsir bertekad melawan Belanda lewat jalur pendidikan.

PENGHARGAAN

Pada tahun 1980, Natsir dianugerahi penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi lewat Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi. Ia memperoleh gelar doktor kehormatan dalam bidang politik Islam dari Kampus Islam Libanon pada tahun 1967. Pada tahun 1991, ia kemudian memperoleh dua gelar kehormatan, yakni dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia serta dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia. Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta, serta dimakamkan satu hari kemudian. Soeharto enggan memberikan gelar pahlawan pada salah satu " bapak bangsa " ini. Kemudian pada masa pemerintahan B. J. Habibie, dia diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana.

AKHIR HAYAT

 Muhammad Natsir meninggal dunia di Jakarta, 6 Februari 1993 dengan meninggalkan enam anak, hasil pernikahannya dengan Nur Nahar. Beliau dimakamkan di TPU Karet, Tanah Abang.

Ucapan belasungkawa datang tidak saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian ikut mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir, tetapi juga dari luar negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda, yang mengirim surat duka kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia.


EmoticonEmoticon