Tujuan beliau adalah "Mencintai Tuhan, membenci yang yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut akan berpaling jalan."
Ketika ditanya orang apa sesungguhnya hakikat cinta, beliau menjawab, 'Engkau cintai apa yang dicintai Allah, Engkau benci yang yang dibenci-Nya, engkau memohon ridha-Nya, engkau tolak sekalian yang akan merintangi engkau menuju Dia. Dan jangan takut akan kebencian orang yang membenci. dan jangan mementingkan diri dan melihatnya. Karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri."
"Orang yang arif adalah bangga dalam kepapaannya. Apabila disebut nama Allah, dia bangga. Apabila disebut nama dirinya, dia meresa miskin."
"Bukanlah orang yang berisi, orang yang bersungguh-sungguh menuntut dunia, meringankan urusan akhirat, lekas marah diwaktu mesti memaafkan, takabur diwaktu mesti tawadhu', dan bukan orang yang kehilangan taqwa karena labanya, bukan orang yang marah mendengar dia diperkataan orang dengan benar.
Bukan prang yang zuhud pada perkara yang disukai orang yang berakal, dan bukan orang yang meminta supaya orang lain mementingkannya, dan bukan orang yang lupa akan Allah ditempat taatnya dan ingat akan Allah hanya diwaktu hajat kepadanya.
Bukan pula orang yang mengumpulkan berbagai ilmu gunanya untuk mengenal Tuhan, tetapi bahwa nafsunya lebih didahulukannya dari ilmu itu.
Bukan orang yang sedikit malunya terhadap Allah, padahal Allah tetap menutup auratnya, dan bukan orang yang lemah melawan musuhnya (setan) dan bukan pula orang yang tak sanggup membuat muruah menjadi pakaian dan adab menjadi perisai dan takwa menjadi perhiasan.
Bukan pula orang yang mengambil ilmu pengetahuannya hanya semata-mata buat membangga dan menyombongkan dalam majlisnya."
"Astagfirullah" kata beliau pula. "Mau berpanjang-panjang perkataanku ini kalau aku perturutkan."
Tersebut pula bahwa beliau pada suatu hari berjumpa dengan Rahib, lalu Zun Nun bertanya kepadanya: "Apa arti cinta itu menurut pendapat tuan.?" Sebab seorang sufi yang besar tidak dengan menerima khidmat dari orang lain, walaupun berbeda agama.
Lalu rahib itu menjawab: "Cinta sejati tak mau dibelah dua. Kalau cinta telah tertumpah kepada Allah, tidaklah ada cinta pada yang lain lagi. Kalau cinta tertumpah pada yang lain, tidaklah mungkin dipersatukan cinta itu kepada Allah. sebab itu tafakurlah engkau menilik dirimu siapakah yang lebih engkau cintai."
Lalu Zun Nun meminta pula supaya diterangkan apa sebenar sari cinta. Pendeta itu menjawab: "Akal pergi, air mata jatuh, mata tak mau tidur, rindu dendam memenuhi jiwa, dan kecintaan berbuat sekehendaknya."
Setelah itu (kata Zun Nun pula) Kami berpisah. Beberapa masa kemudian aku menunaikan haji ke Meakkah. Tiba-tiba kulihat Rahib itu sedang Thawaf. Lalu aku temui, dan badannya kelihatan lebih kurus dari dahulu. Lalu Beliau berkata kepadaku: "Hai Abdul faidh! Janji perdamaian telah ditanda-tangani, pintu pun telah terbuka, dan Dia telah menganugrahiku jalan memilih islam. Sebab apa yang kukatakan kepadamu tempo hari adalah kata-kata yang rupanya oleh bumi tak terpikul dan oleh langit tak tertahan, bukit pun tak dapat menanggungnya. hanyalah laki-laki yang tabah!"
Simpulan ajaran beliau ialah kunci akan kemegahan dunia dan berjalan dengan garis yang ditentukan dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dan takut insan akan berpaling dari ajakan ketentuan itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwatnya.
Kata beliau pula: "Alamat cinta kepada Allah ialah menuruti langkah Muhammad kecintan Allah, baik dalam budinya atau perbuatannya, menurut titahnya menghentikan larangnya dalam garis yang ditentukan-Nya."
Taubat menurut beliau ada dua macam:"Taubat orang awam; yaitu dari dosa, dan taubat orang Khawas; yaitu dari kelalaian."
Makrifat tiga macam pula. Makrifat mukmin biasa, makrifat ahli bicara (mutakallimin) dari Hukama (filsof) dan Makrifat waliullah yang dekat kepada Allah dan kenal aku akan akan Allah dalam dirinya. Makrifat inilah yang setinggi-tinggi martabat.
Dalam pembagian ini terbayanglah kejelasan ketiga macam maktifat itu. Orang mukmin biasa mengenal Allah karena memang demikian ajaran yang diterimanya. Orang filosop dan mutakallimin mencari Allah dengan perjalanan akalnya. Oleh perhitungan akak dan manthik, maka mengakulah mereka akan adanya Tuhan, tetapi belum tentu dirasa akan lezatnya.
Tetapi orang-orang Muqarrabin mencari Allah dengan pedoman cinta. Yang lebih diutamakan ialah ilham, atau Faidh, yaitu limpah karunia Allah. Atau kasyaf, yaitu dibuka Allah hijab kebatinan dalam alam kerohanian.
Di waktu itu akal tak berjalan lagi, melainkan tiba di derajat yang mustawa.
Pernah ditanyakan orang kepada beliau: "Dengan jalan apa engkau dapat mengenal Tuhanmu?" Beliau menjawab: "Aku mengenal Tuhanku ialah dengan tuhanku sendiri. Kalau bukan Tuhanku, tidaklah aku mengenal Tuhan."
Inilah tauhid yang semurni-murninya.
Cinta itu beliau beri pula penjelasan. yaitu cinta timbal balik diantara khalik dengan mahluk, diantara yang mencintai dengan yang dicintai.
Dengan cinta demikianlah si hamba tertarik, lebih daripada tarikan besi sembrani kepada besi biasa, kian lama kian mendekat kepada yang dicintai itu sehingga akhirnya bersatu, tenggelamlah zatnya kepada zat tuhannya.
Ajaran ini hanya dapat dirasakan setelah menempuh maqam-maqam tertentu. Begitulah menurut beliau, cinta hanya dapat dirasakan, dan sia-sia kalau diajarkan.
Mesti dirahasiakan kepada orang yang mengenal arti cinta dalam arti maddi yang dapat disaksikan panca indra.
Pandangan cinta dan pengertian (mahabbah dan makrifat) inilah yang meninggalkan jejak yang sangat nyata bagi ahli-ahli tasawuf besar yang datang dibelakangnya, seumpama Tusturi wafat 273 H. Annakhsyabi wafat 245 H. Ibnul Jalaak di negeri Syam yang pernah belajar sendiri kepada beliau, Al-Khazaar wafat 277 H. salah seorang sahabat beliau.