Saturday, April 13, 2019

IMAM AL-BUKHARI DAN PERNYATAAN BAHWA ALLAH BERSUARA

IMAM AL-BUKHARI DAN PERNYATAAN BAHWA ALLAH BERSUARA

Pada tulisan sebelumnya yang berjudul “Membahas Akidah Dilarang Taklid Atau Mengultuskan Orang tertentu”, saya telah membahas secara panjang lebar tentang landasan Imam Bukhari yang berkata bahwa Allah bersuara dengan suara yang tidak seperti makhluk.

Landasan beliau adalah sebuah hadis yang ternyata bermasalah sehingga bisa kita abaikan pernyataan tersebut, tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat pada sang imam.

Hal ini lumrah terjadi dalam semua bidang, baik akidah, fikih maupun tasawuf. Andaikan hadis itu dianggap shahih, maka kata “suara” yang dinisbatkan pada Allah di dalamnya bisa saja ditafwidh atau ditakwil sesuai akidah yang diyakini Ahlusunnah Wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah).

Yang tak mungkin adalah bila kata “suara” itu dipahami seperti suara normal yang biasa didengar manusia. Silakan dibaca dahulu tulisan tersebut bila belum.

Ternyata oknum berinisial AE, yang saya singgung sebelumnya sebagai provokator, membalasnya dengan sebuah tulisan berjudul “TAKHRIJ HADIS ALLAH BERSUARA Bag.1” yang dibuat khusus untuk membantah saya. Bantahan itu bisa kita kelompokkan dalam beberapa poin sebagai berikut:

1. ISTIDLAL IMAM BUKHARI


“Apa-apa yang dikatakan oleh Pendaku Asyā‘irah ini TIDAK BENAR dan NGAWUR! Saya yakin Pendaku Asyā‘irah ini tidak membaca kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād war-Raddu ‘alal-Jahmiyyah wa Aṣḥāb At-Ta‘ṭīl secara baik dan benar, atau memang sengaja begitu untuk mengelirukan umat. Kenapa demikian? Karena Imam Al-Bukhārī tidak berhujah dengan hadis itu ketika meng-iṡbat Allah Bersuara dengan suara yang berbeda dengan makhluk-Nya. Hadis yang diulas oleh Pendaku Asyā‘irah ini memang ada dalam kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād, tapi hanya dijadikan hadis syawahid (pendukung) saja, bukan hadis utama.”

Bila kita baca kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād war-Raddu ‘alal-Jahmiyyah wa Aṣḥāb At-Ta‘ṭīl secara utuh, maka justru ucapan AE yang menuduh saya ngawur itulah yang terlihat ngawur. Di poin ini ia berkata dua hal: Pertama, bahwa Imam Bukhari tidak berhujah dengan hadis itu ketika meng-iṡbat Allah bersuara. Kedua, bahwa hadis yang saya lemahkan itu hanyalah hadis pendukung, bukan hadis utama.

Mari kita lihat faktanya dengan membaca karya Imam Bukhari ini secara utuh. Pertama, mari kita simak pernyataan Imam Bukhari yang menjadi pokok perselisihan (mahallun niza’) yang menyebut kata suara (shaut) sebagai berikut:

خلق أفعال العباد للبخاري (ص: 98)
وَيُذْكَرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ خَفيضَ الصَّوْتِ، وَيَكَرَهُ أَنْ يَكُونَ رَفِيعَ الصَّوْتِ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَادِي بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ، فَلَيْسَ هَذَا لِغَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ذِكْرُهُ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: " وَفِي هَذَا دَلِيلٌ أَنَّ صَوْتَ اللَّهِ لَا يُشْبِهُ أَصْوَاتَ الْخَلْقِ، لِأَنَّ صَوْتَ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ يُسْمَعُ مِنْ بُعْدٍ كَمَا يُسْمَعُ مِنْ قُرْبِ، وَأَنَّ الْمَلَائِكَةَ يُصْعَقُونَ مِنْ صَوْتِهِ، فَإِذَا تَنَادَى الْمَلَائِكَةُ لَمْ يُصْعَقُوا، وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {فَلَا تَجْعَلُوا لِلِّهِ أَنْدَادًا} [البقرة: 22] فَلَيْسَ لِصِفَةِ اللَّهِ نِدٌّ، وَلَا مِثْلٌ، وَلَا يوجدُ شَيْءٌ مِنْ صِفَاتِهِ فِي الْمَخْلُوقِينَ "

“Dan DISEBUTKAN DARI NABI bahwasanya ia menyukai agar seorang lelaki bersuara pelan, ia tak suka bila dia bersuara nyaring dan bahwasanya Allah Yang Maha Agung memanggil dengan suara yang didengar oleh orang yang jauh seperti halnya didingar oleh orang yang dekat.

Maka hal ini tidak terjadi bagi selain Allah Azza Wa Jalla. ABU ABDILLAH BERKATA: DALAM HAL INI ADA DALIL BAHWA SUARA ALLAH TIDAK SAMA DENGAN SUARA MAKHLUK SEBAB SUARA ALLAH DAPAT DIDENGAR DARI JAUH SEBAGAIMANA DIDENGAR DARI DEKAT.

Jika para malaikat mendengar suara Allah, maka mereka jatuh pingsan. Dan jika para malaikat saling memanggil di antara mereka, mereka tidak jatuh pingsan. Allah Ta’ala telah berfirman, “Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 22). Maka tidak ada tandingan bagi sifat Allah, tidak ada yang menyamai, dan tidak ada satu sifat Allah pun yang terdapat pada diri makhluk.”

Itulah pernyataan Imam Bukhari dalam satu paragraf lengkap yang dijadikan senjata oleh para pendaku salafi di seluruh dunia, termasuk AE ini. Perhatikan dengan seksama pernyataan Imam Bukhari yang terjemahnya saya tulis dengan huruf besar di atas. Sebelum pernyataan tersebut, adakah hadis yang menjadi dalil sehingga pernyataan itu muncul?

Silakan Anda cek ribuan kali di kitab tersebut pada bab tersebut, Anda takkan menemukan satu redaksi hadis pun yang isinya bahwa SUARA ALLAH DAPAT DIDENGAR DARI JAUH SEBAGAIMANA DIDENGAR DARI DEKAT. Yang ada hanyalah pernyataan Imam Bukhari beberapa saat sebelumnya yang berkata “Dan DISEBUTKAN DARI NABI bahwasanya ....”.

Redaksi “disebutkan dari nabi” ini tak ada harganya dalam ilmu hadis sebab tanpa sanad sama sekali sehingga bukan ini dalilnya dan tak mungkin Imam Bukhari memberi pernyataan dengan hanya bermodalkan “disebutkan dari nabi” alias katanya-katanya saja.

Lalu dari mana asal muasal pernyataan Imam Bukhari tersebut? Apakah mengarang sendiri? Tentu tidak. Jawabannya adalah dari hadis yang beliau kutip lengkap dengan sanadnya persis setelah paragraf di atas yang di antara isinya menyebutkan bahwa “suara Allah dapat didengar dari jauh sebagaimana didengar dari dekat”.

Jadi ceritanya, beliau memberi pernyataan terlebih dahulu sesuai dengan keyakinan beliau, barulah dalil hadisnya beliau kemukakan setelahnya.

Dalil yang beliau tulis persis setelah pernyataannya itu adalah sebagai berikut:
خلق أفعال العباد للبخاري (ص: 98)
حَدَّثَنَا بِهِ دَاوُدُ بْنُ شَبِيبٍ، ثنا هَمَّامٌ، ثنا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُقَيْلٍ، أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَهُمْ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُنَيْسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " يَحْشُرُ اللَّهُ الْعِبَادُ فَيُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ: أَنَا الْمَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ، لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ، وَأَحَدٌ مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَطْلُبُهُ بِمَظْلَمَةٍ "

Nah, dalil hadis riwayat Ibnu Aqil inilah yang kupas tuntas pada tulisan sebelumnya! Intinya saya anggap hadis ini bermasalah secara sanad sehingga semua pernyataan yang timbul berlandaskan hadis ini bisa saja kita abaikan sebab persoalan akidah tak bisa diambil dari siapa pun kecuali dari ayat dan hadis sahih. Kalau pun dianggap shahih, maka harus ditafwidh atau ditakwil.

Dengan semangat mengecoh orang awam, AE kemudian dengan pedenya berkata: “Imam Bukhari tidak berhujah dengan hadis itu ketika meng-iṡbat Allah Bersuara” lalu ia berkata: “Hadis yang diulas oleh Pendaku Asyā‘irah ini memang ada dalam kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād, tapi hanya dijadikan hadis syawahid (pendukung) saja, bukan hadis utama.”

Masya Allah… entah kalimat apa yang pantas untuk menggambarkan keculasan ini. Tak perlu orang cerdas untuk tahu bahwa itulah SATU-SATUNYA hadis yang bisa memunculkan pernyataan Imam Bukhari tersebut yang alasannya adalah “suara Allah dapat didengar dari jauh sebagaimana didengar dari dekat”.

Sebagai dalih untuk keculasan ini, AE membuat coretan kotak merah di SS kitab tersebut dengan paragraf pernyataan Imam Bukhari diletakkan di akhir kotak. Ia mencoba mengesankan bahwa pernyataan tersebut berasal dari hadis-hadis di atasnya. Sedangkan hadis utama yang justru adalah dalilnya, bahkan satu-satunya dalil yang pas untuk pernyataan tersebut, malah ia letakkan di luar kotak yang ia buat sendiri seperti terlampir dalam SS di bawah. Ia berkata:

“Caba perhatikan scan kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād dibawah ini, yang kotak merah itu adalah hadis-hadis utama (uṣul) yang dijadikan hujah oleh Imam Al-Bukhārī (di halaman sebelumnya masih ada). Adapun hadis yang diulas oleh Pendaku Asyā‘irah ini (lihat panah hijau), disebutkan setelah Imam Al-Bukhārī membawakan hadis utama dan meng-iṡbat Allah Bersuara dengan suara yang berbeda dengan makhluk-Nya.
Dari fakta ini sebenarnya sudah cukup untuk mengukur tingkat kecerdasan dan kejujuran Pendaku Asyā‘irah ini, bahwa dia TIDAK cerdas dan TIDAK jujur, jadinya NGAWUR. Dulu ketika saya masih di Asyā‘irah tidak se-NGAWUR ini.”

Saya tak habis pikir, fakta apa yang dibicarakan orang ini? Fakta bahwa ia berhujjah dengan garis kotak yang ia buat sendiri dan tak berdasar itu yang ia jadikan alasan untuk mencela saya? Hahaha...... sungguh ini cara paling kreatif di dunia.

Sebuah pernyataan berikut dalilnya dikesankan terpisah dan tak berhubungan hanya dengan bermodalkan garis kotak yang dibuat sendiri. Keculasan ini kemudian dibumbui dengan klaim bahwa yang di dalam kotak adalah hadis-hadis utama (padahal sama sekali tak ada yang bisa menjadi dalil untuk pernyataan Imam Bukhari yang jadi mahallun niza’ di sana) sedangkan yang di luar kotak hanyalah hadis pendukung. Lucunya, kekonyolan seperti ini ada yang nge-like, saudara-saudara!

Sebagai informasi, pernyataan Imam Bukhari yang diperdebatkan ini berada di bab yang berjudul:

بَابُ مَا كَانَ النَّبِيُّ يَسْتَعِيذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ لَا بِكَلَامِ غَيْرِهِ وَقَالَ نُعَيْمٌ: «لَا يُسْتعَاذُ بِالْمَخْلُوقِ، وَلَا بِكَلَامِ الْعِبَادِ وَالْجِنِّ وَالْإِنْسِ، وَالْمَلَائِكَةِ وَفِي هَذَا دَلِيلٌ أَنَّ كَلَامَ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ، وَأَنَّ سِوَاهُ مَخْلُوقٌ»

Bahasan utama bab tersebut adalah pembuktian Imam Bukhari bahwa kalamullah bukan makhluk dengan berlandaskan pada isti’adzah (permohonan perlindungan) yang dilakukan Nabi Muhammad dengan “kalimatillah”. Jadi, isi hadis-hadisnya nyaris seluruhnya tentang isti’adzah tersebut, termasuk hadis yang oleh AE diletakkan di dalam kotak tipuannya itu.

Apakah “kalimatillah” berarti suara? Jelas tidak. Istilah “kalimatillah” ini dibahas dalam seluruh kitab tafsir dengan berbagai arti, misalnya ayat-ayat Allah atau nasehat Allah. Kata “kalimat” berbeda jauh dengan kata “shaut” yang berarti suara. Pernyataan Imam Bukhari yang diperdebatkan ini adalah tentang “shaut”, bukan tentang “kalimat” sehingga harus dibedakan.

Hadis yang menyebut kata “shaut” yang dijadikan dalil oleh Imam Bukhari tersebut disebutkan sebanyak dua kali di kitab tersebut. Satu kali di bab yang agak jauh sebelum pernyataan beliau yang diperdebatkan ini dengan tanpa menyebut sanad utuh dan satu kali lagi sebagaimana dinukil sekarang.

Ada beberapa hadis lain yang juga memuat kata “shaut” yang juga dinukil oleh Imam Bukhari di berbagai bab. Tetapi seperti kata Imam Baihaqi yang saya nukil pada tulisan sebelumnya, HANYA HADIS RIWAYAT IBNU AQIL itulah yang masih bisa dibilang “sahih” meskipun status “sahih” ini diperdebatkan para ulama sebab Ibnu Aqil hafalannya buruk. Imam Baihaqi berkata:

الأسماء والصفات للبيهقي (2/ 29)
وَلَمْ تَثْبُتْ صِفَةُ الصَّوْتِ فِي كَلَامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَوْ فِي حَدِيثٍ صَحِيحٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ حَدِيثِهِ وَلَيْسَ بِنَا ضَرُورَةٌ إِلَى إِثْبَاتِهِ. وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الصَّوْتُ فِيهِ إِنْ كَانَ ثَابِتًا رَاجِعًا إِلَى غَيْرِهِ كَمَا رُوِّينَا عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ مَوْقُوفًا وَمَرْفُوعًا
“Tidaklah valid sifat shaut (suara) dalam al-Qur’an atau di hadis yang sahih dari Nabi, kecuali hadis Ibnu Aqil tersebut. Dan, kita tak harus menetapkan shaut itu. Dan, bisa jadi shaut tersebut ada, andaikan valid, tapi dimaksudkan pada selain Allah sebagaimana yang kami riwayatkan dari Ibnu Mas’un secara mauquf mau pun marfu’.”

Pernyataan Imam Baihaqi tersebut juga dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bary-nya. Intinya, seluruh hadis yang menyebut kata “suara Allah” itu hanya satu saja yang layak diperhitungkan, yakni hadis Ibnu Aqil yang dijadikan dalil utama pernyataan Imam Bukhari tersebut dan itu pun bermasalah. Adapun hadis-hadis lainnya adalah hadis lemah.

Kalau pun ada yang tidak lemah, akan tetapi isinya menyebut bahwa suara itu itu bukan suara Allah atau hanya menyebut adanya suara tanpa dengan jelas menyebut bahwa suara itu muncul dari Allah. Yang seperti ini tak bisa dijadikan dalil sama sekali untuk menyatakan bahwa Allah bersuara.

Anehnya, hadis Ibnu Aqil yang seharusnya jadi andalan satu-satunya ini malah diletakkan diluar kotak oleh AE lalu disebut sebagai “hanya hadis pendukung”. Ya syukurlah kalau begitu, berarti dia mengakui tak ada satu pun hadis yang tersisa untuk dijadikan dalil.

2. PERNYATAAN IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI


Mungkin karena sadar bahwa trik kotaknya itu lemah, AE kemudian menambahkan pernyataan Imam Abul Hasan sebagai pendukung bagi akidahnya. Ia berkata:

“BTW, ini saya beri bonus, ulama lain yang meng-iṡbat Allah Bersuara. Abul-Ḥasan ‘Alī bin Ismā‘īl Al-Asy‘arī (w. 324 H) berkata:
وقد قال الله عز وجل : وَكَلَّمَ اللهُ مُسَى تَكْلِيْماً [السناء ؛ ١٦٤]، والتكليم هو المشافهة بالكلام
“Dan Allah ‘azza wa jalla telah berfirman: ‘Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung’ (QS. An-Nisaa’ : 164). Berbicara adalah mengucapkan perkataan (bersuara)”. [Al-Ibānah]
Dalam aṡar tersebut, Abul-Ḥasan Al-Asy‘arī meng-iṡbat bahwa kalāmullāh itu bersuara, yang didengarkan langsung oleh Nabi Mūsa Al-Kalim ‘alayhis-salām tanpa perantara.”

Di sini ada keculasan lain dengan gaya yang sama seperti yang saya singgung dalam tulisan sebelum ini, yakni dengan cara memanipulasi terjemah. Cara ini efektif untuk mengelabui orang yang tak mengerti Bahasa Arab.

Imam Abul Hasan di atas mengartikan pembicaraan (at-taklim) dalam ayat tersebut sebagai “al-musyafahah bil kalam” yang kemudian diterjemah oleh AE sebagai “mengucapkan perkataan (bersuara)” kemudian menyimpulkan bahwa Imam Abul Hasan menetapkan suara. Ini pembodohan namanya.

Kata “musyafahah” berasal dari kata “syâfaha” yang arti literalnya adalah bertatap muka secara langsung. Karena itulah dalam terjemah standar ayat itu biasa diartikan bahwa Allah berfirman kepada Nabi Musa secara langsung, maksudnya tanpa perantara malaikat. Jadi seharusnya frasa “al-musyafahah bil kalam” terjemah literalnya adalah “secara langsung dengan firman/kalam”, bukan malah dengan suara. Tak ada kata “suara” sama sekali di ayat ini atau di pernyataan Abul Hasan tersebut. Tapi ya begitulah AE.

3. ULAMA SALAF MENETAPKAN ADANYA SUARA


AE berkata:

“Dan, ulama Salaf meng-iṡbat bahwa Allah Bersuara dengan suara yang berbeda dengan makhluk-Nya. Kalau kita mau taklid, taklid lah kepada ulama Salaf, taklid lah pada pendapat yang ada pendahulunya, ada dalilnya.”

Ada benarnya juga perkataan ini. Memang segelintir ulama ada yang berkeyakinan demikian sesuai ijtihadnya masing-masing. Saya bisa menyebut nama-nama mereka kalau mau, tetapi rasanya tak perlu dilakukan sebab dalilnya tidak kuat, tanpa mengurangi rasa hormat. Cukup ini sebagai informasi saja. Hanya saja mereka semua menyatakan itu sambil memberi catatan jelas sebagaimana yang dilakukan Imam Bukhari yang dinukil di atas menyatakan:

خلق أفعال العباد للبخاري (ص: 98)
فَلَيْسَ لِصِفَةِ اللَّهِ نِدٌّ، وَلَا مِثْلٌ، وَلَا يوجدُ شَيْءٌ مِنْ صِفَاتِهِ فِي الْمَخْلُوقِينَ
“Maka sifat Allah tak memiliki saingan, tidak juga yang serupa, dan tak satu pun sifatnya dapat ditemukan di makhluk manapun”

Orang yang cermat akan paham bahwa catatan di atas arahnya pada tafwidh atau takwil. Bukan pada penetapan adanya suara yang bisa diukur dengan satuan Hertz (Hz) sebagaimana bisa didengar telinga manusia biasanya. Suara semacam ini adalah suara makhluk.

Bandingkan catatan Imam Bukhari di atas dengan pernyataan AE berikut ini:

“BTW lagi, bukan kah telinga manusia hanya bisa menerima suara dalam dalam bentuk gelombang di ambang frekuensi 20 Hz sampai 20.000 Hz? Jawabannya, Allah itu Maha Kuasa, Dia bisa memperdengarkan suara-Nya kepada siapa saja yang Dia Kehendaki.”

Dalam pernyataan itu, secara tersirat ia mengatakan bahwa suara Allah itu seperti suara makhluk yang bisa diukur dengan satuan Hz, hanya saja di luar ambang frekuensi 20 Hz sampai 20.000 Hz dan Allah berkuasa melakukan itu, katanya. Ngawur sekali ini. Pendaku salafi paling fanatik pun rasanya tak ada yang berkata seperti ini. Mau infrasonik, normal atau ultrasonik, semuanya ditemukan dalam diri makhluk. Jadi bukan masalah Allah mampu atau tidak mampu.

AE ini gagal paham ketika saya mengatakan bahwa telinga manusia hanya mampu menangkap suara dalam arti gelombang di ambang frekuensi 20 Hz sampai 20.000 Hz dan suara dalam arti ini wajib dinafikan dari Allah. Dikiranya saya menafikan rentang gelombang itu saja, bukan itu poinnya!

Suara dalam bentuk gelombang yang bisa diukur dengan satuan Hz, baik itu berada di bawah batas 20 Hz (disebut infrasonik) atau di atas 20.000 Hz (disebut ultasonik) sekalipun, semuanya berasal dari getaran. Suara manusia berasal dari getaran di pita suara. Suara lainnya juga berasal dari getaran di sumber suaranya. Getaran itu merambat melalui media tertentu kemudian menimbulkan getaran serupa di gendang telinga pendengarnya.

Bila Allah dikatakan bersuara, maka artinya sama dengan mengatakan salah satu dari dua makna berikut:

1. Ada sebagian dari Dzat Allah yang bergetar atau seluruh Dzat Allah bergetar sehingga bisa mengeluarkan gelombang amplitudo getaran pada frekuensi tertentu. Kedua opsi ini ujungnya adalah mazhab Mujassimah. Saya ragu, sangat-sangat ragu ada tokoh pendaku salafi modern yang mau berkata seperti ini saking jeleknya makna ini.

2. Ada getaran yang diciptakan Allah di luar Dzat-Nya, dalam arti getaran itu terjadi pada makhluk yang Allah kehendaki. Ini adalah mazhab Muktazilah. Mereka mengatakan kalam Allah memang berupa suara, tapi suaranya tidak berasal dari Allah namun dari makhluk. Karena itulah kemudian mereka mengatakan bahwa kalam Allah itu makhluk sebab itu diciptakan dan melekat pada makhluk, bukan muncul dari Allah sendiri.

Mau pilih makna yang mana dari kedua makna di atas? Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan tegas menolak keduanya. Nyaris seluruhnya tegas menafikan kata “suara” dari Allah. Sebagian lainnya menetapkannya tetapi ditafwidh atau ditakwil supaya tak lagi bermakna gelombang getar itu tadi.

Imam al-Hafidz Ibnu al-Qatthan berkata dalam kitab kompilasi ijmak ulama, sebagai berikut:
الإقناع في مسائل الإجماع:1/25 :
و أجمعوا أن كلام الله ليس بحروف و لا أصوات ، و أنه يقرأ بالحرف أ و يسمع بالعبارات ، على أنه شيء قرئ بهذه الهيئة المخصوصة
“Para ulama sudah bersepakat (ijmak) bahwa kalamullah bukanlah huruf-huruf dan bukan pula suara-suara. Dan bahwasanya kalamullah dibaca dengan huruf dan didengar dengan ujaran representatif dalam arti bahwa kalamullah dibaca dengan cara khusus ini.”

4. SIAPA ULAMA SALAF YANG MENYATAKAN ALLAH TAK BERSUARA?


AE berkata:

“Hingga saat ini, saya tidak menemukan ada ulama Salaf yang berpendapat bahwa Allah Tidak Bersuara ketika berkalam.”

Oke, saya sepakat soal ini. AE memang tidak menemukannya sebab dia memang sedikit membaca. Faktanya ada ulama di era salaf yang mengatakan ini, yakni Imam Abu Hanifah. Di dalam al-Fiqh al-Akbar, beliau menyatakan:

الفقه الأكبر (ص: 26)
وَنحن نتكلم بالآلات والحروف وَالله تَعَالَى يتَكَلَّم بِلَا آلَة وَلَا حُرُوف والحروف مخلوقة وَكَلَام الله تَعَالَى غير مَخْلُوق

“Kita berbicara dengan organ-organ dan huruf-huruf. Sedangkan Allah Ta’ala berbicara dengan tanpa organ dan tanpa huruf. Huruf-huruf itu makhluk sedangkan Kalamullah Ta’ala bukan makhluk”.

Ini pernyataan jelas dari Ulama Salaf ini bahwa kalam Allah tak melibatkan organ apa pun sehingga tak ada yang akan bergetar menghasilkan suara. Juga tak melibatkan huruf-huruf yang tersusun di balik suara. Baik organ penghasil suara atau pun huruf-huruf di balik suara, keduanya adalah makhluk sedangkan kalamullah sudah disepakati bukan makhluk.

Selain itu, seluruh pernyataan ulama, baik salaf maupun khalaf, yang menafikan jisim dari Allah bisa dijadikan dalil untuk menafikan suara Allah sebab suara hanya muncul dari getaran jisim.

Oya, judul tulisan AE ini kan Takhrij Hadis, tapi di sebelah mana takhrijnya? Ah... Mungkin masih di awang-awang.

Semoga bermanfaat. Salah satu kajian dari post facebook Abdul Wahab Ahmad, Wakil Sekretaris PCNU Jember


EmoticonEmoticon