Sunday, January 13, 2019

IMAM BUKHARI DAN PARA PROVOKATOR [Kajian Tauhid]

IMAM BUKHARI DAN PARA PROVOKATOR

Dalam berbagai kitab sejarah disebutkan kisah masuknya Imam Bukhari ke kota Naisabur. Saat itu ia disambut secara luar biasa meriah oleh para penduduknya dan diberikan majlis untuk mengajar.

Namun tak semua senang melihat itu, sebagian tokoh Naisabur merasa hasud pada beliau. Imam Bukhari pernah berkata:

أَفْعَالُ العِبَادِ مَخْلُوْقَةٌ

“tindakan-tindakan manusia adalah makhluk”

Namun redaksi yang beliau pilih dengan hati-hati itu diplintir seolah berkata demikian:

إِنَّ مُحَمَّدَ بنَ إِسْمَاعِيْلَ يَقُوْلُ: اللَّفْظُ بِالقُرْآنِ مَخْلُوْقٌ، فَامتحنُوهُ فِي المَجْلِسِ.

"Sesungguhnya Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) berkata: “Lafazku terhadap al-Qur’an adalah makhluk”, maka ujilah ia di majlisnya.”

Saat itu, di Naisabur sendiri perkataan “Lafazku terhadap al-Qur’an adalah makhluk” dianggap tabu sebab sepintas terkesan membenarkan perkataan Jahmiyah yang ditentang habis-habisan oleh Imam Ahmad.

Hal inilah yang dijadikan alat provokasi oleh sebagian tokoh yang hasud itu untuk memojokkan Imam Bukhari. Provokator itu memanfaatkan keawaman masyarakat yang tak mampu membedakan kedua redaksi itu.

Akhirnya, ada seorang pemuda yang betul-betul menguji Imam Bukhari dengan pertanyaan benar tidaknya redaksi “Lafazku terhadap al-Qur’an adalah makhluk” ?.

Tetapi beliau tak menjawabnya. Pertanyaan itu diulangi tiga kali hingga akhirnya sang Imam menoleh dan berkata:

سير أعلام النبلاء ط الرسالة (12/ 454)
القُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ، وَأَفْعَالُ العبَادِ مَخْلُوْقَةٌ وَالامْتِحَانُ بِدْعَةٌ.

“al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk. Adapun tindakan manusia adalah makhluk. Ujian semacam ini adalah bid’ah”

Dalam salah satu versi riwayat, di majelis itu beliau menjawab demikian:

سير أعلام النبلاء ط الرسالة (12/ 458)
أَفْعَالُنَا مَخْلُوْقَةٌ، وَأَلفَاظُنَا مِنْ أَفْعَالِنَا.

“Tindakan-tindakan kita adalah makhluk dan lafaz-lafaz kita termasuk tindakan kita”

Apa yang dimaksud tindakan manusia adalah makhluk? Apakah berarti beliau mengatakan al-Qur’an adalah makhluk sebab lafaz kita ketika membaca al-Qur’an adalah makhluk?

Di kesempatan lainnya beliau menegaskan hal ini:

سير أعلام النبلاء ط الرسالة (12/ 455)
حَرَكَاتُهُم وَأَصْوَاتُهُم وَاكتِسَابُهُم وَكِتَابَتُهُم مَخْلُوْقَةٌ. فَأَمَّا القُرْآنُ المَتْلُوُّ المُبَيَّنُ المُثْبَتُ فِي المَصَاحِفِ، المسطورُ المَكْتُوْبُ المُوعَى فِي القُلُوْبِ، فَهُوَ كَلاَمُ اللهِ لَيْسَ بِمَخْلُوْقٍ

“Gerakan mereka, suara mereka, tindakan mereka dan tulisan mereka adalah makhluk. Adapun al-Qur’an yang dibaca (al-matluw), yang diterangkan (al-mubayyan), yang ditetapkan (al-mutsbat) di mushaf-mushaf, yang ditulis (al-maktur), yang dicatat (al-maktub) dan dipahami (al-mu’a) dalam hati, maka itu adalah kalamullah, bukan makhluk”

Dari sini imam Bukhari memilah antara dua aspek, yakni aspek yang merupakan hasil dari tindakan manusia dan aspek wahyu. Hasil tindakan manusia seperti tulisan mushaf, suara pembaca, dan sebagainya disebut makhluk. Adapun KONTEN WAHYU yang kemudian dicatat oleh manusia, dibaca dan disimpan dalam hati, maka itu adalah kalamullah bukan makhluk.

Beda jauh antara tulisan (kitabah) sebagai hasil tindakan manusia dengan konten yang ditulis (al-maktub) yang berasal dari wahyu. Celaka sekali orang yang tak bisa membedakan keduanya aspek ini.

Pemilahan tegas seperti ini bukan hanya dilakukan Imam Bukhari tetapi juga dilakukan banyak tokoh lain, sebelum dan sesudah beliau. Sebelumnya ada Syaikh Ibnu Kullab dan Syaikh al-Karabisi yang mengatakan hal serupa, meskipun dengan redaksi yang sedikit berbeda.

Setelah itu ada banyak sekali yang mengatakan hal serupa itu; ada adz-Dzahabi, Ibnu Taymiyah, Ibnu Abdissalam, dan tak terhitung lainnya.

Tapi tetap saja provokator itu mempermasalahkan hal ini dan selalu berusaha menyudutkan Imam Bukhari seolah beliau menyatakan al-Qur’an adalah makhluk. Ia tak mau membedakan antara sisi tindakan manusia dan sisi wahyu, pokoknya mendengar kata “makhluk”, maka langsung dijadikan alat provokasi. Ia berkata pada masyarakat:

سير أعلام النبلاء ط الرسالة (12/ 459)
قَدْ أَظهرَ هَذَا البُخَارِيُّ قَوْلَ اللفظيَّةِ، وَاللفظيَّةُ عِنْدِي شرُّ مِنَ الجَهْمِيَّةِ

“al-Bukhari ini sudah menampakkan perkataan para lafdziyah (orang yang mengucap “Lafazku terhadap al-Qur’an adalah makhluk”). Sedangkan lafdziyah bagiku lebih buruk dari Jahmiyah”.

Akhirnya Imam Bukhari terpaksa keluar dari Kota Naisabur gegara hasudan murahan dari orang yang gagal paham terhadap ucapan Imam Bukhari itu. Ini kisah berabad-abad yang lalu.

Tak disangka, kisah yang mirip itu terjadi lagi di abad ini pada diri saya pribadi dan Asy’ariyah secara umum yang juga disinggung. Dulu saya menulis yang isinya begini:

“Ahlussunnah Asy'ariyah: Hakikat Kalamullah adalah Qadim, pasti bukan makhluk. Tetapi tulisan al Qur’an yang tercetak atau suara manusia yang melafalkan al-Qur’an adalah makhluk sebab faktanya itu produksi manusia dan keluar dari mulut makhluk.”

Tulisan saya di atas discreenshot oleh seseorang berinisial AE lalu dalam statusnya yang ia beri judul “ASY-SYĀFI‘ī DAN ILMU KALAM #4”. Ia berkata:

“Sekarang, kita bandingkan pandangan tersebut dengan pandangan Al-Imām Al-Kabīr Muḥammad bin Idrīs Asy-Syāfi‘ī (w. 204 H) raḥmatullāh ‘alayh yang dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Jalīl Abul-Ḥusayn Al-‘Imrānī Asy-Syāfi‘ī (w. 558 H) raḥmatullāh ‘alayh dalam Al-Intiṣār fir-Rad ‘alal-Mu‘tazilah Al-Qadariyyah Al-Asyrār, bahwa Ar-Rabī‘ bin Sulaymān pernah mendengar Mahagurunya (Imam Asy-Syāfi‘ī) berkata:

مَنْ قَالَ: لَفْظِي بِالْقُرْآنِ أَوِ الْقُرْآنُ بِلَفْظِي مَخْلُوقٌ, فَهُوَ جَهْمِيٌّ

“Barangsiapa berkata: lafalku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafalku adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)”.

Lihat lah bagaimana orang ini memelintir perkataan saya. Pernahkah saya mengatakan perkataan yang dicela Imam Syafi’i itu?

Sama sekali tidak pernah. Saya memilah aspek perbuatan manusia dan aspek wahyu seperti yang dilakukan Imam Bukhari dan para imam lain yang saya sebut di atas.

Tapi ya begitulah kalau jiwa provokator, redaksi yang jelas berbunyi “tulisan al Qur’an yang tercetak atau suara manusia yang melafalkan al-Qur’an adalah makhluk“ malah diplintir seolah berbunyi “lafadhku terhadap al-Qur’an adalah makhluk”.

Di tulisan selanjutnya yang berjudul “KUN SYĀFI‘IYYAN ‘ALAL-JĀDDAH Seri 5”, Ia kemudian dengan polosnya menjelaskan maksud pemilahan imam Bukhari itu dengan kesalahpahaman yang parah. Ia berkata:

“Perbuatan hamba (af‘ālul-‘ibād) yang disebutkan oleh Al-Bukhārī ini bersifat umum, seperti membaca, menulis, dsb. Dan ini jelas makhluk, tak ada keraguan dalam hal ini. Akan tetapi, BACAAN atau PELAFALAN ayat-ayat suci Al-Qur’an, itu Kalam Allāh yang HAKIKI bukan Majazi.

Contoh sederhanya begini:

Kita punya kitab Ar-Risālah karya Asy-Syāfi‘ī, maka kertas dan tinta bukan Asy-Syāfi‘ī, TETAPI apa yang termaktub dalam kitab itu adalah kalam Asy-Syāfi‘ī. Jikalau kita membaca kitab tersebut, maka mulut, lidah, bibir dan suara bukan Asy-Syāfi‘ī, TETAPI apa yang dibaca dan terdengar itu adalah kalam Asy-Syāfi‘ī.”

Orang ini nampak tak paham Bahasa Arab atau mungkin memang sengaja menipu masyarakat yang tak paham soal ini. Imam Bukhari mengatakan “al-matluw”, lalu ia terjemahkan menjadi “bacaan”. Mulai kapan “al-matluw” berarti bacaan?.

“al-matluw” adalah “yang dibaca” dalam arti kontennya, bukan bacaannya yang berarti tindakan membacanya. Adapun bacaan, bahasa arabnya adalah “tilawah”.

Yang dibaca adalah aspek wahyu sehingga bukan makhluk. Adapun bacaannya adalah aspek tindakan manusia sehingga makhluk. Ini seharusnya mudah dibedakan oleh orang berakal.

Orang ini kemudian berkata “Pelafalan ayat-ayat suci Al-Qur’an itu Kalam Allāh yang HAKIKI bukan Majazi”.

Tampak sekali provokator ini tak paham bedanya “pelafalan” dan “lafaz/lafal”. Ajaran Imam Bukhari yang mana yang mengatakan bahwa pelafalan adalah kalamullah? Pelafalan adalah tindakan manusia dalam melafalkan, dalam Bahasa arabnya adalah talaffudz.

Sudah jelas menurut Imam Bukhari bahwa seluruh tindakan manusia adalah makhluk. Yang dijauhi imam Bukhari bukan kata “pelafalan terhadap al-Qur’an", tetapi kata “lafalku terhadap al-Qur’an adalah makhluk.” Keduanya berbeda jauh.

Kemudian lihat betapa culasnya orang ini memelintir ucapan Imam Bukhari yang memilah aspek tindakan manusia dan aspek wahyu. Ia malah memberi contoh konyol berikut:

“Contoh sederhanya begini: Kita punya kitab Ar-Risālah karya Asy-Syāfi‘ī, maka kertas dan tinta bukan Asy-Syāfi‘ī, TETAPI apa yang termaktub dalam kitab itu adalah kalam Asy-Syāfi‘ī. Jikalau kita membaca kitab tersebut, maka mulut, lidah, bibir dan suara bukan Asy-Syāfi‘ī, TETAPI apa yang dibaca dan terdengar itu adalah kalam Asy-Syāfi‘ī.”

Perhatikan contoh yang ia buat itu, ada penyebutan kertas, tinta, asy-Syafi’I, mulut, lidah, bibir, suara, yang termaktub dalam kitab, yang dibaca dan yang terdengar, dan kalam asy-Syafi’i. Manakah dari semua ini yang berupa tindakan? Sama sekali tak ada. Semuanya adalah kata benda, tak ada satu pun kata kerja.

Orang ini sama sekali tak memilah apapun. Tak ada unsur af’alul ibad di contoh yang ia buat ini. Lalu dengan ini ia hendak berkata bahwa ia meniru Imam Bukhari yang melakukan pemilahan dua unsur tadi?

Bila hendak memakai contoh kitab ar-Risalah dan Imam Syafi’I selaku pemilik kalamnya, maka seharusnya ia memilah antara tulisan di kitab ar-Risalah itu sebagai tulisan hasil tindakan penulis yang menyalin naskahnya dengan yang ditulis berupa konten ar-Risalah itu sendiri sebagai kalam imam Syafi’i.

Satu sisi kitab itu adalah tulisan si penyalin naskah tetapi di sisi lainnya yang ditulis adalah kalam Imam Syafi’i.

Di tulisan itu dan di tulisannya yang lain berjudul “KUN SYĀFI‘IYYAN ‘ALAL-JĀDDAH Seri 6”, keculasan yang sama ia ulangi lagi. Ia menukil Imam Bukhari yang berkata:

قَالَ أبو عبد الله البخاريّ: حركاتهم وأصواتهم، واكتسابهم، وكتابتهم، مخلوقة، فأما القرآن المتلو المبين المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب، فهو كلام الله ليس بخلق

Teks tersebut ia terjemahkan dengan penuh kepalsuan sebagai berikut: “Abū Abdillāh Al-Bukhārī berkata: “Gerak-gerik mereka, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adalah Kalāmullāh, BUKAN makhluk.”

Perhatikan, Imam Bukhari berkata “al-Qur’an al-matluw al-mubayyan” diterjemah menjadi “Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu”.

Dari mana ia mendapat kata “dengan suara huruf-huruf tertentu” itu kalau tidak dari imajinasinya. Sama sekali tak ada penyebutan suara (shaut) dan huruf (harf) di sana.

Terjemahan manipulatif ini dilakukan agar para pembaca terkecoh menganggap suara pembaca dan huruf-huruf yang keluar dari mulut pembaca al-Qur’an adalah bukan makhluk.

Padahal ini semua adalah hasil tindakan manusia yang menurut mazhab Imam Bukhari adalah makhluk semuanya. Terjemahan yang benar akan teks ini seperti yang saya tulis di awal tulisan ini.

Bila ini masih kurang jelas, maka saya nukilkan penjelasan Imam Adz-Dzahabi berikut agar makin jelas bedanya di mana antara istilah-istilah ini:

سير أعلام النبلاء ط الرسالة (11/ 290)
وَمَعُلُوْمٌ أَنَّ التَّلفُّظَ شَيْءٌ مِنْ كَسبِ القَارِئِ غَيْرِ المَلْفُوْظِ، وَالقِرَاءةُ غَيْرُ الشَّيْءِ المَقرُوءِ، وَالتِّلاَوَةُ وَحُسنُهَا وَتَجويدُهَا غَيْرُ المَتْلُوِّ، وَصَوتُ القَارِئِ مِنْ كَسبِهِ فَهُوَ يُحْدِثُ التَّلفُّظَ وَالصَّوتَ وَالحَرَكَةَ وَالنُّطقَ، وَإِخْرَاجَ الكَلِمَاتِ مِنْ أَدَوَاتِهِ المَخْلُوْقَةِ، وَلَمْ يُحْدِثْ كَلِمَاتِ القُرْآنَ، وَلاَ تَرْتِيْبَهُ، وَلاَ تَأْلِيفَهُ، وَلاَ مَعَانيهِ.

"Sudah jelas bahwa pelafalan (talaffudh) adalah sesuatu yang dilakukan pembaca dan itu bukanlah yang dibaca (al-malfudh). Bacaan (qira’ah) bukanlah sesuatu yang dibaca (al-maqru’).

Narasi (tilawah), baiknya dan tajwidnya, bukanlah yang dinarasikan (al-matluww). Suara pembaca adalah berasal dari tindakannya sendiri.

Maka dialah yang mengadakan pelafalan, suara, gerakan, ucapan, dan mengeluarkan kalimat-kalimat dari organ-organnya yang makhluk itu. Ia tidak mengadakan kalimat al-Qur’an, tidak pula mengadakan urutannya, susunannya atau maknanya.”

Bila sudah memahami ini, maka akan mudah memahami perkataan Imam al-Bayjuri berikut yang juga dinukil orang ini:

وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق

“Adapun al-Qur’an dalam makna lafal yang kita baca, maka itu makhluk”

Yang dimaksud Imam al-Bayjuri ini bukan al-malfudh atau al-maqru’ yang berarti kalamullah, tapi teks yang ditulis dan dibuat manusia yang kemudian kita baca itu. Sudah jelas itu makhluk, masak mau dibilang qadim?.

Jadi, sama sekali tak bisa dibenturkan dengan Imam Syafi’i atau Imam Bukhari yang menolak perkataan “lafalku terhadap al-Qur’an adalah makhluk.” Kedua redaksi ini berbeda jauh tetapi diplesetkan dan dianggap sama oleh orang yang hati dan akalnya bermasalah.

Setelah isu ini, provokator itu kemudian mengubah bahasan menjadi isu lain yang jauh berbeda, yakni tentang apakah kalamullah berbentuk suara. Lagi-lagi ia culas dalam menulis dan tetap memakai tulisan lama saya sebagai bahan provokasi.

Kita akan bahas itu pada tulisan selanjutnya sebagai bentuk amanah ilmiah. Yang dirasa bagus dari tulisan ini silakan diambil, yang dirasa kasar tak perlu ditiru.

Semoga bermanfaat. Abdul Wahab Ahmad Wakil Sekertaris PCNU Jember


EmoticonEmoticon