DUA PENDAPAT ASY'ARIYAH TENTANG SIFAT
Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Imam Tajuddin as-Subki, salah satu ulama Asy'ariyah-Syafi'iyah menjelaskan pandangan para ulama Asy'ariyah dalam itsbat sifat Khabariyah Allah, seperti Yad, 'Ain, Wajah, dan lain sebagainya. Beliau berkata:
أقول للأشاعرة قولان مشهوران في إثبات الصفات، هل تمر على ظاهرها مع اعتقاد التنزيه، أو تئول؟ والقول بالإمرار مع اعتقاد التنزيه هو المعزو إلى السلف، وهو اختيار الإمام في الرسالة النظامية. وفي مواضع من كلامه، فرجوعه معناه الرجوع عن التأويل إلى التفويض، ولا إنكار في هذا، ولا في مقابله، فإنها مسألة اجتهادية، أعني مسألة التأويل أو التفويض مع اعتقاد التنزيه. إنما المصيبة الكبرى والداهية الدهياء الإمرار على الظاهر، والاعتقاد أنه المراد، وأنه لا يستحيل على الباري، فذلك قول المجسمة عباد الوثن. (طبقات الشافعية الكبرى)
"Aku berkata bahwa ASYA'IRAH PUNYA DUA PENDAPAT YANG MASYHUR DALAM MENETAPKAN ADANYA SIFAT ALLAH (bukan meniadakannya/ta'thil). Apakah dimaknai sesuai makna dhahirnya tetapi disertai keyakinan menyucikan Allah dari keserupaan ataukah ditakwil? Pendapat yang membiarkan lafaz apa adanya sesuai dhahirnya tetapi menyucikan Allah (dari sifat makhluk) adalah yang dinukil dari ulama salaf.
Itulah pilihan Imamul Haramain (imam besar Asy'ariyah) dalam risalah Nidhamiyah dan dalam beberapa tempat dari kitab-kitabnya. Rujuknya Imam Haramain maknanya adalah rujuk dari takwil menuju tafwidh.
Hal ini tak boleh diingkari (disalahkan), begitu juga kebalikannya (yang mentakwil). Sesungguhnya ini adalah masalah, ijtihadiyah, maksud saya adalah soal takwil dan tafwidh beserta tanzih (menyucikan Allah dari sifat yang tak layak).
SESUNGGUHNYA MUSIBAH BESAR DAN PETAKA YANG PARAH ADALAH MEYAKINI MAKNA DHAHIR LALU MEYAKINI BAHWA ITULAH YANG DIMAKSUD DAN BAHWA ITU TAK MUSTAHIL BAGI ALLAH. Itu adalah keyakinan para Mujassimah, yaitu para penyembah berhala".
Pendapat senada bisa dilihat dalam penjelasan Imam Mujtahid an-Nawawi dalam Syarah Muslim, Imam Ahlul Hadis Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari dan banyak lainnya. Para ulama besar ini adalah ulama tipe ensiklopedis, yakni ulama yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu sekaligus dan karyanya jadi rujukan umat islam sedunia hingga sekarang. Mereka ini kalau menyimpulkan suatu mazhab pastilah dari hasil penelitian yang komprehensif.
Bandingkan dengan para penyebar propaganda Salafi yang hampir pasti mengomentari Asy'ariyah secara parsial. Di berbagai kitab mereka dan di artikel-artikel mereka, hampir pasti dikesankan bahwa Asy'ariyah mewajibkan takwil, mewajibkan takwil istawa sebagai istawla, mewajibkan takwil yad menjadi quwwah dan seterusnya.
Anda yang mengikuti diskusi-diskusi saya di FB dapat melihat sendiri kesalahpahaman mereka ini yang akhirnya merasa asing dan aneh dengan tulisan-tulisan saya yang beraliran tafwidh. Kebanyakan mereka ini tak pernah belajar tentang akidah Asy'ariyah dari kitab-kitab Asy'ariyah sendiri sehingga salah paham. Ya mirip lah dengan para tabib/dukun alternatif yang dengan pedenya menyalahkan ilmunya para dokter tanpa pernah belajar bagaimana isi buku kedokteran dan penelitian di dalamnya.
Kedua sikap Asy'ariyahAsy'ariyah4 itu sejalan dan seirama dengan Imam Ahmad dan ketiga Imam lainnya. Akidah Imam Abu Hanifah yang ditulis ulama Hanafiyah terkemuka bernama Imam at-Thahawi menjadi salah satu rujukan utama bagi Asy'ariyah.
Demikian juga Akidah Imam Ahmad yang ditulis oleh Imam at-Tamimy dan Imam Ibnul Jauzi juga menjadi rujukan penting. Adapun dari madzhab Malikiyah maka kita dapati fakta bahwa para imam besar Asy'ariyah yang mengenbangkan dan merumuskan mazhab Asy'ariyah secara sistematis justru bermazhab Malikiyah.
Di antara mereka ada nama-nama besar yang kitabnya dipelajari di berbagai pesantren seperti al-Laqani, as-Sanusi dan ad-Dasuqi. Kalau dari kalangan Syafi'iyah tak perlu ditanya lagi, mayoritas mereka adalah para pejuang akidah Asy'ariyah yang ulet dan masyhur. Orang Indonesia yang mengaku sebagai Syafi'iyah sudah pasti mendapatkan pelajaran akidah bermazhab Asy'ariyah.
Hanya orang bodoh atau para pembohong yang mampu berkata bahwa para ulama Asy'ariyah itu meyakini bahwa Imam Mazhabnya sendiri berakidah sesat sebab bukan Asy'ariyah. Justru faktanya mereka mampu mensinkronkan antara pernyataan Imam empat mazhab dengan pendapat Asya'irah dan mampu meyakinkan bahwa mereka semuanya ada dalam kelompok yang sama, yakni Ahlussunnah wal Jama'ah. Mereka hanya berbeda pendapat dalam beberapa detail yang bersifat ijtihadiyah, namun bukan dalam hal pokok. Di antara perselisihan mereka yang menurut Allah benar akan mendapat dua pahala dan yang tidak benar akan mendapat satu pahala.
Semua sepakat bahwa Allah mustahil bersifat seperti makhluk. Di antara sifat yang menjadi ciri khas makhluk adalah berupa jisim, punya ukuran dan batasan. Ketika Allah mengabarkan بل يداه مبسوطتان (akan tetapi kedua yad-nya terbuka lebar), maka bagaimana memahaminya? Sebagian Asy'ariyah tak mau berkomentar soal makna yad itu yang secara literal berarti tangan. Biar Allah saja yang tahu apa maksud yad itu, yang jelas bukan tangan dalam arti anggota badan. Ini disebut tafwidh.
Sebagian lagi memilih memahami konteksnya bahwa ayat itu menekankan makna bahwa Allah maha pemurah. Makna ini tak salah sebab kenyataannya memang Allah Maha Pemurah. Langkah ini disebut takwil.
Ulama ahli tafwidh banyak yang menolak keras takwil sehingga takwilan apapun disalahkan sebab bagi mereka belum tentu begitu maknanya menurut Allah. Mereka memilih diam saja tak membahas supaya lebih aman. Di antara mereka ini ada Imam Ahmad yang mengomentari tentang sifat jisim sebagai berikut:
إِنَّ الأَسْمَاءَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الشَّرِيعَةِ وَاللُّغَةِ، وَأَهْلُ اللُّغَةِ وَضَعُوا هَذَا الاسْمَ – أَيِ الْجِسْمَ – عَلَى ذِي طِولٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيبٍ وَصُورَةٍ وَتَأْلِيفٍ، وَاللهُ خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسمَّى جِسْمًا لِخروجِهِ عَنْ مَعْنَى الْجِسْمِيّةِ، وَلَمْ يَجِىءْ في الشَّرِيعَةِ ذَلِكَ فَبَطلَ » اهـ. (مَنَاقِبُ أَحَمَدَ)
"Sesungguhnya istilah-istilah itu diambil dari syariah dan bahasa sedangkan ahli bahasa menetapkan istilah ini (jisim) untuk sesuatu yang punya panjang, lebar, tebal, susunan, bentuk dan rangkaian sedangkan Allah berbeda dari itu semua. Maka dari itu tidak boleh mengatakan bahwa Allah jisim sebab DIA KELUAR DARI MAKNA JISMIYAH. Dan, istilah itu tidak ada dalam istilah syariat, maka batal menyifati Allah demikian". (Manaqib Ahmad).
Setelah itu, beliau juga mengkritik pihak-pihak yang mentakwil yad dengan "kekuatan" dengan berbagai argumen. Kritik beliau ini sebab beliau memang tak suka takwil tetapi memilih tafwidh, bukan dalam arti bahwa beliau meyakini "yadullah" adalah anggota badan Allah sehingga bermakna jismiah.
Lalu bagaimana ketika ada yang berkata bahwa "yadullah" adalah tangan Allah sesuai terjemahan harfiahnya? Sebenarnya hal itu tak masalah apabila dengan tegas dia mau berkata bahwa yang dimaksud "tangan Allah" olehnya bukanlah dalam arti jisim atau anggota badan yang mempunyai bentuk dan ukuran tertentu.
Lalu kalau tangan tetapi bukan anggota badan, maka apa yang dimaksud "Tangan Allah" itu? Kalau dia memilih menjawab "saya tak tahu" berarti itu tafwidh. Bila ia memilih arti lain yang sesuai dengan sifat Allah berarti takwil. Namun, sebaiknya penerjemahan yad menjadi tangan ini dihindari sebab makna terjemahan tak seluas makna kata yad dalam bahasa aslinya sehingga menimbulkan salah paham. Sebagian ulama dengan tegas melarang menerjemah sifat Allah dalam kategori ini untuk menghindari miskonsepsi.
Baik tafwidh ataupun takwil sama-sama punya dasar kuat dan faktanya generasi salaf juga mentakwil, tak terkecuali Imam Malik dan Imam Ahmad. Yang tak berdasar adalah mereka yang berkata bahwa yad bermakna tangan dalam arti yang sesungguhnya (yang tak lain adalah anggota badan) lalu menegaskan bahwa itu tak mustahil bagi Allah dan justru itu yang dimaksud al-Qur’an dan hadis serta para ulama salaf, meskipun mereka berkata bahwa tangan Allah itu berbeda dengan makhluk.
Pernyataan "tangan yang berbeda dengan makhluk" dalam konteks ini tak lain hanya sebagai perbedaan bentuk saja (عدم المماثلة) bukan perbedaan hakikat (عدم المشابهة). Inilah musibah akidah terbesarnya.
Semoga bermanfaat.
EmoticonEmoticon