Thursday, August 17, 2017

Shalat Ruh dan Shalat Tubuh - Pasal 38 Fihi Ma Fihi


Al-Mushthafa Rasululllah saw. sedang duduk bersama para sahabat ketika sejumlah orang kafir datang mengusik.

Rasulullah saw. bersabda kepada mereka :

"Kalian semua menyepakati bahwa di dunia ini ada satu orang penerima wahyu. Wahyu turun kepadanya dan tidak kepada selain dia. Sang penerima wahyu itu memiliki tanda-tanda dan ciri-ciri tertentu pada perilaku, kata-kata dan wajahnya. Tentu, pada tiap bagian tubuhnya juga bisa dilihat tanda pewahyuan itu. Sekarang, bila kalia melihat tanda-tanda itu, berpalinglah kepadanya dan berpeganglah dengan erat kepadanya agar ia menjadi pelindungmu."

Orang-orang kafir itu merasa bingung mendengar kata-kata Sang Nabi dan tidak tahu lagi apa yang mesti mereka katakan. Tidak lama kemudian mereka pergi mengambil pedang, lalu kembali mengusik dan memaki para sahabat.

Al-Mushthafa Rasulullah saw. berkata:

"Bersabarlah kalian agar mereka tidak mengatakan: mereka telah menyerang dan memaksa kami. Mereka ingin agama ini dimunculkan dengan cara paksaan. Bersabarlah, Allah akan memunculkan agama ini."

Karena itulah selama beberapa waktu para sahabat mendirikan shalat secara sembunyi-sembunyi dan menyebut nama al-Mushthafa Rasulullah saw. dalam kerahasiaan. Sampai akhirnya, setelah beberapa waktu, turun wahyu: "Kalian, juga, hunuslah pedang dan berperanglah."

Al-Mushthafa Rasulullah saw. mereka sebut "ummiy". Mereka menyebut beliau ummiy bukan karena beliau tidak mampu menulis dan tidak berpengetahuan. Mereka menyebut beliau ummiy, karena bagi beliau semua tulisan, ilmu dan hikmah merupakan fitrah (bawaan sejak lahir), bukan sesuatu yang diusahakan. Semua itu telah melekat pada diri beliau.

Adakah orang yang bisa menulis diwajah rembulan tidak bisa menulis? Lalu, apa yang tidak diketahui beliau di dunia ini, sementara semua orang belajar dari beliau? dan apa yang dimiliki akal parsial yang tidak dimiliki akal universal.

Akal parsial tidak bisa mencipta sesuatu dari dirinya yang belum pernah dilihatnya. Karangan, keterampilan dan bangunan yang dicipta orang-orang bukanlah karangan baru. Mereka pernah melihat modelnya dan mereka menyandarkan semua kreasi mereka kepadanya.

Yang bisa mencipta sesuatu yang baru dari dirinya sendiri adalah akal universal. Akal parsial bisa belajar dan butuh pelajaran, sedangkan akal universal mengajar dan tidak butuh belajar.

Karena itu, jika kau mengamati setiap profesi dan pekerjaan, kau akan mendapati bahwa asal dan awal semua itu adalah wahyu. Orang-orang belajar kepada Nabi, dan Nabi ini adalah akal universal.

Ingatlah cerita gagak: Ketika Qabil membunuh Habil dan ia berdiri bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap jasad saudaranya. Qabil melihat seekor gagak membunuh gagak lain, lalu gagak itu menggali tanah dan menguburkan gagak mati dan menimbunnya. Dari sini Qabil belajar bagaimana menggali tanah dan mengubur jasad.

Seperti itu pulalah keadaan semua profesi dan tindakan perbuatan. Semua orang yang merupakan akal parsial membutuhkan pengajaran, dan akal iniversal adalah peletak awal segala sesuatu. Para nabi dan para wali, merekalah yang menyampaikan akal parsial kepada akal universal, dan menjadikan keduanya sebagai kesatuan.

Tangan, kaki, mata, telinga dan seluruh indra manusia bisa belajar dari hati dan akal. Kaki belajar dari akal bagaimana cara berjalan, tangan belajar dari hati dan bagaimana menggenggam, mata dan telinga belajar bagaimana melihat dan mendengar.

Tubuh ini--dalam hubungannya dengan akal dan hati--bersifat kasar dan padat, sementara hati dan akal bersifat lembut.

Yang kasar ini bisa tegak karena adanya yang lembut itu. Jika pada tubuh yang kasar ini ada kelembtutan, itu berasal dari yang lembut. Tanpa yang lembut, yang kasar ini tak lagi berguna, rusak, kasar dan buruk.

Begitu pula akal parsial dalam hubungannya dengan akal universal. Akal parsial sekedar alat, belajar dari akal universal dan mengambil manfaat darinya. Akal parsial ini bersifat kasar dihadapan akal universal.

Seseorang mengatakan '"perhatikan kami dalam perhatianmu. Perhatian adalah pokok. Tidak masalah meskipun tidak kata-kata, karena kata-kata hanyalah cabang."

Maulana mengatakan: "Benar, perhatian ini ada di alam arwah sebelum awal jisim. Seperti itupula kita dihadirkan ke alam jisim. Namun jika kehadiran ini tanpa manfaat dan maslahat, ini sungguh absurd. Sejatinya, kata-kata memiliki fungsinya sendiri, dan ia penuh manfaat."

Jika kau menanam biji abprikot saja, tidak akan tumbuh sesuatupun darinya. Adapun jika ia menanam biji aprikot itu beserta kulitnya, ia akan tumbuh. Dari fakta ini kita tahu bahwa bentuk juga memiliki fungsi.

Sama halnya, shalat yang merupakan perkara batin ini juga mesti hadir bersama bentuknya--dengan gerakan rukuk dan sujudnya. Hanya dengan cara itulah kau bisa mendapat manfaat darinya dan sampai kepada tujuannya.

Mereka yang senantiasay mengerjakan shalatnya (QS. Al-Ma'arij: 23)

Ini adalah shalat ruh. Sedangkan bagi shalat tubuh ada waktu-waktu tertentu, tidak senantiasa. Sebab, ruh alam ini merupakan lautan tiada akhir, tubuh adalah pantai dan tanah kering, yang terbatas dan tertentu. Maka, shalat abadinya hanya dimiliki ruh. Tentu saja ruh memiliki ciri rukuk dan sujud, meski demikian, rukuk dan sujud harus diejawantahkan kedalam bentuk luar dan karena ada hubungan antara hakikat dan bentuk. Selama kedua hal ini tidak bersepakat, ia tidak akan memberi manfaat.

Ketika kau mengatakan: "Bentuk adalah cabang dari maknanya, dan bentuk adalah rakyat, sedangkan hati adalah raja." Ini hanyal istilah nisbi yang disandarkan. Ketika kau mengatakan "ini adalah cabang dari itu" sedangkan yang cabang itu tidak ada, bagaimana sebutan yang pokok bisa dinisbatkan kepada yang lain?

Itu karena yang pokok menjadi yang pokok karena adanya yang cabang. Jika tidak ada yang cabang, bahkan tidak akan ada nama. Ketika kau mengatakan, "perempuan", tentu disana harus ada laki-laki. Ketika kau berkata, "pemelihara", tentu disana harus ada "yang dipelihara". Ketika kau berkata "hakim" tentu disana harus ada "yang dihakimi".